Saturday, December 26, 2009

Lagu Ello, Ipang, Berry (Saint Loco), Lala - Buka Semangat Baru

Lagu Ello, Ipang, Berry (Saint Loco), Lala - Buka Semangat Baru


hello teman semua
ayo kita sambut, hari baru telah tiba
apa yang kurasakan, ku ingin engkau tahu
dan berbagi bersama

buka kita buka hari yang baru
sebagai semangat langkah ke depan
jadi pribadi baru
buka kita buka jalan yang baru
tebarkan senyum wajah gembira
damai suasana baru
bukalah bukalah semangat baru
bukalah bukalah semangat baru
bukalah bukalah semangat baru

coba diam walau hanya tuk sejenak,
dengarkan kata dari s'gala yang ku ucap,
ku jelang pagi ini nikmati damai di hati,
dalam waktu penuh arti karena aku dicintai,
ku ingat kemarin suasana tak bersemangat,
namun kini ku jalani dan semua rasanya tepat,
bersama kita coba wujudkan harapan,
membuka jalan dalam 'gapai setiap tujuan.

mentari bersinar selalu
ini yang ku minta penuh semangat tertawa
bersamamu teman semua
karena ini saatnya kita nyanyi bersama

buka kita buka hari yang baru
sebagai semangat langkah ke depan
jadi pribadi baru
buka kita buka jalan yang baru
tebarkan senyum wajah gembira
damai suasana baru

dengarkan hatimu, pastikan pilihanmu
esok mentari kan datang, bawa sejuta harapan
kita jumpa di sana, berbagi bersama
dan kita tahu, pelangi yang satukan kita

Tuesday, December 22, 2009

Selamat Hari Ibu,, I Love U,Mom

Oh Ibu,,
Ibu melindungi aku,,
Jauhkan aku dari bahaya,
Sampai kapanpun akan ku bawa,
Sampai tiba saatnya kembali,,.

Oh Ibu,,
Ibu melindungi aku,,
Jauhkan aku dari bencana,
Sampai kapanpun akan ku jaga,
Sampai tiba saatnya berakhir,,.

Yusuf Islam : Your Mother Lyrics

Who should I give my love to?
My respect and my honor to
Who should I pay good mind to?
After Allah
And Rasulullah

Comes your mother
Who next? Your mother
Who next? Your mother
And then your father

Cause who used to hold you
And clean you and clothes you
Who used to feed you?
And always be with you
When you were sick
Stay up all night
Holding you tight
That's right no other
Your mother (My mother)

Who should I take good care of?
Giving all my love
Who should I think most of?
After Allah
And Rasulullah

Comes your mother
Who next? Your mother
Who next? Your mother
And then your father

Cause who used to hear you
Before you could talk
Who used to hold you?
Before you could walk
And when you fell who picked you up
Clean your cut
No one but your mother
My mother

Who should I stay rigt close to?
Listen most to
Never say no to
After Allah
And Rasulullah

Comes your mother
Who next? Your mother
Who next? Your mother
And then your father

Cause who used to hug you
And buy you new clothes
Comb your hair
And blow your nose
And when you cry
Who wiped your tears?
Knows your fears
Who really cares?
My mother

Say Alhamdulillah
Thank you Allah
Thank you Allah
For my mother

Wednesday, October 28, 2009

Jilbab : Diskusi Dengan Anak

Jilbab : Diskusi Dengan Anak
Publikasi : Wed, 13 Jul 2005

Seorang mama yang sedang asik didepan computer mengetik pekerjaannya ditemani oleh seorang anaknya yang bermain diatas tempat tidur. Sang anak kemudian kemudian berceloteh, "Mama..ade pingin main game di computer gitu lho.."dengan gaya bercanda dan sambil tiduran diatas tempat tidurnya.

"Enggak boleh gitu lho..soalnya mama lagi ngetik gitu lho.."jawab mama santai sambil mengetik.

"Tapi..ade pingin main gitu lho..?" sahutnya lagi.

"Tidak boleh gitu lho...soalnya dari kemarin kamu main terus gitu lho...entar mata ade sakit gitu lho..." jawab mama yang masih ikutan bercanda.

"Ade ngantuk gitu lho...ade pingin tidur sama mama gitu lho... mama harus temenin ade tidur gitu lho..." si anak yang masih berusaha ingin menghentikan pekerjaan mamanya.

"Kalau ngantuk tinggal merem gitu lho.. ade enggak pinjam mata mama gitu lho.. mama temenin ade sambil ngetik gitu lho.." jawab mama yang masih mengetik sambil tersenyum-senyum.

"Enggak mau gitu lho..mama harus ikutan tidur sama ade gitu lho.." celoteh anak yang sambil merangkul mamanya dari belakang dan menjatuhkan mamanya ke tempat tidur dan sang mama akhirnya memeluk anaknya sambil tertawa-tawa bersama.

"Mama sayang…kalau mama mau pergi ke luar rumah..enggak usah pake jilbab lagi ya? Mama enggak usah takut sama orang dan mama enggak usah malu sama orang.. kan mama cantik..? Kenapa mama malu dilihat orang" celoteh anaknya yang masih TK, sambil mengusap-usap wajah dan rambut mamanya.

"Hehehe.. mama pake jilbab bukan karena malu dan takut sama orang sayang. Tapi, karena Allah dan Rasul yang suruh. Rasul mengajarkan .wanita itu harus menutup seluruh badannya kecuali wajah dan tapak tangannya pada orang-orang yang bukan saudaranya." jawab mama yang masih memeluk anaknya.

"Lho, memang orang-orang itu bukan saudara kita ya ma?" Tanya sang anak lagi.

"Eemm, mereka saudara kita seiman, tapi mereka bukan saudara kita sedarah atau sekandungan.." jawab mama yang masih bingung untuk menerangkan kepada sang anak yang masih TK tentang perbedaan saudara nasab (mahromm) dan saudara seiman.

"Tapi... kenapa Tante Anti enggak pake jilbab?" Tanya sang anak yang polos.

"Mungkin.. Tante Anti enggak takut dan malu sama Allah.." jawab mama lagi.

"Tapi.. orang jadi enggak tahu..kalau mama ade cantik. Mama enggak cantik..kalau pake jilbab." protes anak yang masih penasaran.

"Hehehe..gini lho sayang..kalau ada wanita cantik, terus tidak memakai jilbab..lalu dia keluar rumah dan semua orang melihat kecantikannya, terus..ada keinginan orang untuk mengambilnya atau tiba-tiba orang itu pingin memiliki wanita cantik itu yang kemudian memaksa wanita itu untuk didapatkannya..gimana dunk..?" cerita mama sambil memperagakan menarik dan memeluk anaknya seolah-olah anaknya itu wanita cantik yang diceritakan mamanya.

"Atau..ada seorang wanita yang tidak cantik..eemm..mungkin kulitnya ada bekas gigitan nyamuk atau gatal2 yang buat tidak sedap dipandang dan jadi mengundang orang untuk mencibir atau menghinanya, ya..jadi lebih baik dipakaikan jilbab aja..jadi..jilbabnya itu menyelamatkan dirinya dari keinginan orang untuk mendapatkan wanita cantik itu, atau jilbab itu juga menyelamatkan dirinya dari orang-orang yang mungkin akan menghina dan mencibirnya.." cerita mama yang masih memeluk anaknya, dan sang anak hanya tersenyum-senyum malu mendengarkan cerita mamanya.

"Tapi..mama pake jilbab, bukan karena untuk menutupi itu semua, dan hanya menurutui apa perintah Allah dan perintah Rasul. Eemm..lagipula mama cantik itu kan menurut ade, karena mama adalah mamanya ade? Coba ade tanya sama teman ade yang lain, pasti mereka akan bilang..kalau mamanya lebih cantik dari mamanya ade..?" jawab mama sambil tersenyum-senyum pada anaknya.

"Enggak koq ma..waktu ayah jemput ade di sekolah, waktu itu Bu Guru Yanti nanya ke ade, "Nada..itu papanya nada ya? Papa nada ganteng ya..cakep." kata bu yanti. Terus Bu Guru Noer bilang ke Bu Yanti, "Mamanya nada juga cantik, manis lagi" cerita sang anak sambil tersenyum-senyum bangga menceritakan pujian yang disampaikan bu gurunya pada ke dua orang tuanya.

"Eemm..jadi gimana? Apa nanti ade sudah besar mau pake jilbab?" Tanya mama. "Hehe..iya..ade kalau sudah besar, mau pake jilbab seperti mama." jawab anak sambil mencium mamanya. "Ayo.. sekarang masih mau tidur gak? Tadi katanya ngantuk?"

"Iya dong, mama sayangku, mama cantikku" celoteh anak sambil terus memeluk dan mencium mamanya.

"Hehe..makasih ya..sayangku..cantikku..buah hatiku.." ganti puji mama pada anak sambil mencium dan memeluk sang anak.


Salam




Milis Forum Lingkar Pena

Cinta Laki-laki Biasa

Cinta Laki-laki Biasa
Publikasi : Friday, July 15, 2005

Karya Asma Nadia dari kumpulan cerpen Cinta Laki-laki Biasa



MENJELANG hari H, Nania masih saja sulit mengungkapkan alasan kenapa dia mau menikah dengan lelaki itu. Baru setelah menengok ke belakang, hari-hari yang dilalui, gadis cantik itu sadar, keheranan yang terjadi bukan semata miliknya, melainkan menjadi milik banyak orang; Papa dan Mama, kakak-kakak, tetangga, dan teman-teman Nania. Mereka ternyata sama herannya.

"Kenapa?" tanya mereka di hari Nania mengantarkan surat undangan.

Saat itu teman-teman baik Nania sedang duduk di kantin menikmati hari-hari sidang yang baru saja berlalu. Suasana sore di kampus sepi. Berpasang-pasang mata tertuju pada gadis itu.

Tiba-tiba saja pipi Nania bersemu merah, lalu matanya berpijar bagaikan lampu neon lima belas watt. Hatinya sibuk merangkai kata-kata yang barangkali beterbangan di otak melebihi kapasitas. Mulut Nania terbuka. Semua menunggu. Tapi tak ada apapun yang keluar dari sana. Ia hanya menarik nafas, mencoba bicara dan? menyadari, dia tak punya kata-kata!

Dulu gadis berwajah indo itu mengira punya banyak jawaban, alasan detil dan spesifik, kenapa bersedia menikah dengan laki-laki itu. Tapi kejadian di kampus adalah kali kedua Nania yang pintar berbicara mendadak gagap. Yang pertama terjadi tiga bulan lalu saat Nania menyampaikan keinginan Rafli untuk melamarnya. Arisan keluarga Nania dianggap momen yang tepat karena semua berkumpul, bahkan hingga generasi ketiga, sebab kakak-kakaknya yang sudah berkeluarga membawa serta buntut mereka.

"Kamu pasti bercanda!"

Nania kaget. Tapi melihat senyum yang tersungging di wajah kakak tertua, disusul senyum serupa dari kakak nomor dua, tiga, dan terakhir dari Papa dan Mama membuat Nania menyimpulkan: mereka serius ketika mengira Nania bercanda.

Suasana sekonyong-konyong hening. Bahkan keponakan-keponakan Nania yang balita melongo dengan gigi-gigi mereka yang ompong. Semua menatap Nania!

"Nania serius!" tegasnya sambil menebak-nebak, apa lucunya jika Rafli memang melamarnya.

"Tidak ada yang lucu," suara Papa tegas, "Papa hanya tidak mengira Rafli berani melamar anak Papa yang paling cantik!"

Nania tersenyum. Sedikit lega karena kalimat Papa barusan adalah pertanda baik. Perkiraan Nania tidak sepenuhnya benar sebab setelah itu berpasang-pasang mata kembali menghujaninya, seperti tatapan mata penuh selidik seisi ruang pengadilan pada tertuduh yang duduk layaknya pesakitan.

"Tapi Nania tidak serius dengan Rafli, kan?" Mama mengambil inisiatif bicara, masih seperti biasa dengan nada penuh wibawa, "maksud Mama siapa saja boleh datang melamar siapapun, tapi jawabannya tidak harus iya, toh?"

Nania terkesima.

"Kenapa?"

Sebab kamu gadis Papa yang paling cantik.

Sebab kamu paling berprestasi dibandingkan kami. Mulai dari ajang busana, sampai lomba beladiri. Kamu juga juara debat bahasa Inggris, juara baca puisi seprovinsi. Suaramu bagus!

Sebab masa depanmu cerah. Sebentar lagi kamu meraih gelar insinyur. Bakatmu yang lain pun luar biasa. Nania sayang, kamu bisa mendapatkan laki-laki manapun yang kamu mau!

Nania memandangi mereka, orang-orang yang amat dia kasihi, Papa, kakak-kakak, dan terakhir Mama. Takjub dengan rentetan panjang uraian mereka atau satu kata 'kenapa' yang barusan Nania lontarkan.

"Nania Cuma mau Rafli," sahutnya pendek dengan airmata mengambang di kelopak.

Hari itu dia tahu, keluarganya bukan sekadar tidak suka, melainkan sangat tidak menyukai Rafli. Ketidaksukaan yang mencapai stadium empat. Parah.

"Tapi kenapa?"

Sebab Rafli cuma laki-laki biasa, dari keluarga biasa, dengan pendidikan biasa, berpenampilan biasa, dengan pekerjaan dan gaji yang amat sangat biasa.

Bergantian tiga saudara tua Nania mencoba membuka matanya.

"Tak ada yang bisa dilihat pada dia, Nania!"

Cukup!

Nania menjadi marah. Tidak pada tempatnya ukuran-ukuran duniawi menjadi parameter kebaikan seseorang menjadi manusia. Di mana iman, di mana tawakkal hingga begitu mudah menentukan masa depan seseorang dengan melihat pencapaiannya hari ini?

Sayangnya Nania lagi-lagi gagal membuka mulut dan membela Rafli. Barangkali karena Nania memang tidak tahu bagaimana harus membelanya. Gadis itu tak punya fakta dan data konkret yang bisa membuat Rafli tampak 'luar biasa'. Nania Cuma punya idealisme berdasarkan perasaan yang telah menuntun Nania menapaki hidup hingga umur duapuluh tiga. Dan nalurinya menerima Rafli. Di sampingnya Nania bahagia.

Mereka akhirnya menikah.

***

Setahun pernikahan.

Orang-orang masih sering menanyakan hal itu, masih sering berbisik-bisik di belakang Nania, apa sebenarnya yang dia lihat dari Rafli. Jeleknya, Nania masih belum mampu juga menjelaskan kelebihan-kelebihan Rafli agar tampak di mata mereka.

Nania hanya merasakan cinta begitu besar dari Rafli, begitu besar hingga Nania bisa merasakannya hanya dari sentuhan tangan, tatapan mata, atau cara dia meladeni Nania. Hal-hal sederhana yang membuat perempuan itu sangat bahagia.

"Tidak ada lelaki yang bisa mencintai sebesar cinta Rafli pada Nania."

Nada suara Nania tegas, mantap, tanpa keraguan.

Ketiga saudara Nania hanya memandang lekat, mata mereka terlihat tak percaya.

"Nia, siapapun akan mudah mencintai gadis secantikmu!"

"Kamu adik kami yang tak hanya cantik, tapi juga pintar!"

"Betul. Kamu adik kami yang cantik, pintar, dan punya kehidupan sukses!"

Nania merasa lidahnya kelu. Hatinya siap memprotes. Dan kali ini dilakukannya sungguh-sungguh. Mereka tak boleh meremehkan Rafli.

Beberapa lama keempat adik dan kakak itu beradu argumen.

Tapi Rafli juga tidak jelek, Kak!

Betul. Tapi dia juga tidak ganteng kan?

Rafli juga pintar!

Tidak sepintarmu, Nania.

Rafli juga sukses, pekerjaannya lumayan.

Hanya lumayan, Nania. Bukan sukses. Tidak sepertimu.

Seolah tak ada apapun yang bisa meyakinkan kakak-kakaknya, bahwa adik mereka beruntung mendapatkan suami seperti Rafli. Lagi-lagi percuma.

"Lihat hidupmu, Nania. Lalu lihat Rafli! Kamu sukses, mapan, kamu bahkan tidak perlu lelaki untuk menghidupimu."

Teganya kakak-kakak Nania mengatakan itu semua. Padahal adik mereka sudah menikah dan sebentar lagi punya anak.

Ketika lima tahun pernikahan berlalu, ocehan itu tak juga berhenti. Padahal Nania dan Rafli sudah memiliki dua orang anak, satu lelaki dan satu perempuan. Keduanya menggemaskan. Rafli bekerja lebih rajin setelah mereka memiliki anak-anak. Padahal itu tidak perlu sebab gaji Nania lebih dari cukup untuk hidup senang.

"Tak apa," kata lelaki itu, ketika Nania memintanya untuk tidak terlalu memforsir diri.

"Gaji Nania cukup, maksud Nania jika digabungkan dengan gaji Abang."

Nania tak bermaksud menyinggung hati lelaki itu. Tapi dia tak perlu khawatir sebab suaminya yang berjiwa besar selalu bisa menangkap hanya maksud baik.

"Sebaiknya Nania tabungkan saja, untuk jaga-jaga. Ya?"

Lalu dia mengelus pipi Nania dan mendaratkan kecupan lembut. Saat itu sesuatu seperti kejutan listrik menyentakkan otak dan membuat pikiran Nania cerah.

Inilah hidup yang diimpikan banyak orang. Bahagia!

Pertanyaan kenapa dia menikahi laki-laki biasa, dari keluarga biasa, dengan pendidikan biasa, berpenampilan biasa, dengan pekerjaan dan gaji yang amat sangat biasa, tak lagi mengusik perasaan Nania.

Sebab ketika bahagia, alasan-alasan menjadi tidak penting.

Menginjak tahun ketujuh pernikahan, posisi Nania di kantor semakin gemilang, uang mengalir begitu mudah, rumah Nania besar, anak-anak pintar dan lucu, dan Nania memiliki suami terbaik di dunia. Hidup perempuan itu berada di puncak!

Bisik-bisik masih terdengar, setiap Nania dan Rafli melintas dan bergandengan mesra. Bisik orang-orang di kantor, bisik tetangga kanan dan kiri, bisik saudara-saudara Nania, bisik Papa dan Mama.

Sungguh beruntung suaminya. Istrinya cantik.

Cantik ya? dan kaya!

Tak imbang!

Dulu bisik-bisik itu membuatnya frustrasi. Sekarang pun masih, tapi Nania belajar untuk bersikap cuek tidak peduli. Toh dia hidup dengan perasaan bahagia yang kian membukit dari hari ke hari.

Tahun kesepuluh pernikahan, hidup Nania masih belum bergeser dari puncak. Anak-anak semakin besar. Nania mengandung yang ketiga. Selama kurun waktu itu, tak sekalipun Rafli melukai hati Nania, atau membuat Nania menangis.

***

Bayi yang dikandung Nania tidak juga mau keluar. Sudah lewat dua minggu dari waktunya.

"Plasenta kamu sudah berbintik-bintik. Sudah tua, Nania. Harus segera dikeluarkan!"

Mula-mula dokter kandungan langganan Nania memasukkan sejenis obat ke dalam rahim Nania. Obat itu akan menimbulkan kontraksi hebat hingga perempuan itu merasakan sakit yang teramat sangat. Jika semuanya normal, hanya dalam hitungan jam, mereka akan segera melihat si kecil.

Rafli tidak beranjak dari sisi tempat tidur Nania di rumah sakit. Hanya waktu-waktu shalat lelaki itu meninggalkannya sebentar ke kamar mandi, dan menunaikan shalat di sisi tempat tidur. Sementara kakak-kakak serta orangtua Nania belum satu pun yang datang.

Anehnya, meski obat kedua sudah dimasukkan, delapan jam setelah obat pertama, Nania tak menunjukkan tanda-tanda akan melahirkan. Rasa sakit dan melilit sudah dirasakan Nania per lima menit, lalu tiga menit. Tapi pembukaan berjalan lambat sekali.

"Baru pembukaan satu."

"Belum ada perubahan, Bu."

"Sudah bertambah sedikit," kata seorang suster empat jam kemudian menyemaikan harapan.

"Sekarang pembukaan satu lebih sedikit."

Nania dan Rafli berpandangan. Mereka sepakat suster terakhir yang memeriksa memiliki sense of humor yang tinggi.

Tigapuluh jam berlalu. Nania baru pembukaan dua. Ketika pembukaan pecah, didahului keluarnya darah, mereka terlonjak bahagia sebab dulu-dulu kelahiran akan mengikuti setelah ketuban pecah. Perkiraan mereka meleset.

"Masih pembukaan dua, Pak!"

Rafli tercengang. Cemas. Nania tak bisa menghibur karena rasa sakit yang sudah tak sanggup lagi ditanggungnya. Kondisi perempuan itu makin payah. Sejak pagi tak sesuap nasi pun bisa ditelannya.

"Bang?"

Rafli termangu. Iba hatinya melihat sang istri memperjuangkan dua kehidupan.

"Dokter?"

"Kita operasi, Nia. Bayinya mungkin terlilit tali pusar."

Mungkin?

Rafli dan Nania berpandangan. Kenapa tidak dari tadi kalau begitu? Bagaimana jika terlambat?

Mereka berpandangan, Nania berusaha mengusir kekhawatiran. Ia senang karena Rafli tidak melepaskan genggaman tangannya hingga ke pintu kamar operasi. Ia tak suka merasa sendiri lebih awal.

Pembiusan dilakukan, Nania digiring ke ruangan serba putih. Sebuah sekat ditaruh di perutnya hingga dia tidak bisa menyaksikan ketrampilan dokter-dokter itu. Sebuah lagu dimainkan. Nania merasa berada dalam perahu yang diguncang ombak. Berayun-ayun. Kesadarannya naik-turun. Terakhir, telinga perempuan itu sempat menangkap teriakan-teriakan di sekitarnya, dan langkah-langkah cepat yang bergerak, sebelum kemudian dia tak sadarkan diri.

Kepanikan ada di udara. Bahkan dari luar Rafli bisa menciumnya. Bibir lelaki itu tak berhenti melafalkan zikir.

Seorang dokter keluar, Rafli dan keluarga Nania mendekat.

"Pendarahan hebat."

Rafli membayangkan sebuah sumber air yang meluap, berwarna merah.

Ada varises di mulut rahim yang tidak terdeteksi dan entah bagaimana pecah!

Bayi mereka selamat, tapi Nania dalam kondisi kritis.

Mama Nania yang baru tiba, menangis. Papa termangu lama sekali. Saudara-saudara Nania menyimpan isak, sambil menenangkan orangtua mereka.

Rafli seperti berada dalam atmosfer yang berbeda. Lelaki itu tercenung beberapa saat, ada rasa cemas yang mengalir di pembuluh-pembuluh darahnya dan tak bisa dihentikan, menyebar dan meluas cepat seperti kanker.

Setelah itu adalah hari-hari penuh doa bagi Nania.

***

Sudah seminggu lebih Nania koma. Selama itu Rafli bolak-balik dari kediamannya ke rumah sakit. Ia harus membagi perhatian bagi Nania dan juga anak-anak. Terutama anggota keluarganya yang baru, si kecil. Bayi itu sungguh menakjubkan, fisiknya sangat kuat, juga daya hisapnya. Tidak sampai empat hari, mereka sudah boleh membawanya pulang.

Mama, Papa, dan ketiga saudara Nania terkadang ikut menunggui Nania di rumah sakit, sesekali mereka ke rumah dan melihat perkembangan si kecil. Walau tak banyak, mulai terjadi percakapan antara pihak keluarga Nania dengan Rafli.

Lelaki itu sungguh luar biasa. Ia nyaris tak pernah meninggalkan rumah sakit, kecuali untuk melihat anak-anak di rumah. Syukurnya pihak perusahaan tempat Rafli bekerja mengerti dan memberikan izin penuh. Toh, dedikasi Rafli terhadap kantor tidak perlu diragukan.

Begitulah Rafli menjaga Nania siang dan malam. Dibawanya sebuah Quran kecil, dibacakannya dekat telinga Nania yang terbaring di ruang ICU. Kadang perawat dan pengunjung lain yang kebetulan menjenguk sanak famili mereka, melihat lelaki dengan penampilan sederhana itu bercakap-cakap dan bercanda mesra.

Rafli percaya meskipun tidak mendengar, Nania bisa merasakan kehadirannya.

"Nania, bangun, Cinta?"

Kata-kata itu dibisikkannya berulang-ulang sambil mencium tangan, pipi dan kening istrinya yang cantik.

Ketika sepuluh hari berlalu, dan pihak keluarga mulai pesimis dan berfikir untuk pasrah, Rafli masih berjuang. Datang setiap hari ke rumah sakit, mengaji dekat Nania sambil menggenggam tangan istrinya mesra. Kadang lelaki itu membawakan buku-buku kesukaan Nania ke rumah sakit dan membacanya dengan suara pelan. Memberikan tambahan di bagian ini dan itu. Sambil tak bosan-bosannya berbisik,

"Nania, bangun, Cinta?"

Malam-malam penantian dilewatkan Rafli dalam sujud dan permohonan. Asalkan Nania sadar, yang lain tak jadi soal. Asalkan dia bisa melihat lagi cahaya di mata kekasihnya, senyum di bibir Nania, semua yang menjadi sumber semangat bagi orang-orang di sekitarnya, bagi Rafli.

Rumah mereka tak sama tanpa kehadiran Nania. Anak-anak merindukan ibunya. Di luar itu Rafli tak memedulikan yang lain, tidak wajahnya yang lama tak bercukur, atau badannya yang semakin kurus akibat sering lupa makan.

Ia ingin melihat Nania lagi dan semua antusias perempuan itu di mata, gerak bibir, kernyitan kening, serta gerakan-gerakan kecil lain di wajahnya yang cantik. Nania sudah tidur terlalu lama.

Pada hari ketigapuluh tujuh doa Rafli terjawab. Nania sadar dan wajah penat Rafli adalah yang pertama ditangkap matanya.

Seakan telah begitu lama. Rafli menangis, menggenggam tangan Nania dan mendekapkannya ke dadanya, mengucapkan syukur berulang-ulang dengan airmata yang meleleh.

Asalkan Nania sadar, semua tak penting lagi.

Rafli membuktikan kata-kata yang diucapkannya beratus kali dalam doa. Lelaki biasa itu tak pernah lelah merawat Nania selama sebelas tahun terakhir. Memandikan dan menyuapi Nania, lalu mengantar anak-anak ke sekolah satu per satu. Setiap sore setelah pulang kantor, lelaki itu cepat-cepat menuju rumah dan menggendong Nania ke teras, melihat senja datang sambil memangku Nania seperti remaja belasan tahun yang sedang jatuh cinta.

Ketika malam Rafli mendandani Nania agar cantik sebelum tidur. Membersihkan wajah pucat perempuan cantik itu, memakaikannya gaun tidur. Ia ingin Nania selalu merasa cantik. Meski seringkali Nania mengatakan itu tak perlu. Bagaimana bisa merasa cantik dalam keadaan lumpuh?

Tapi Rafli dengan upayanya yang terus-menerus dan tak kenal lelah selalu meyakinkan Nania, membuatnya pelan-pelan percaya bahwa dialah perempuan paling cantik dan sempurna di dunia. Setidaknya di mata Rafli.

Setiap hari Minggu Rafli mengajak mereka sekeluarga jalan-jalan keluar. Selama itu pula dia selalu menyertakan Nania. Belanja, makan di restoran, nonton bioskop, rekreasi ke manapun Nania harus ikut. Anak-anak, seperti juga Rafli, melakukan hal yang sama, selalu melibatkan Nania. Begitu bertahun-tahun.

Awalnya tentu Nania sempat merasa risih dengan pandangan orang-orang di sekitarnya. Mereka semua yang menatapnya iba, lebih-lebih pada Rafli yang berkeringat mendorong kursi roda Nania ke sana kemari. Masih dengan senyum hangat di antara wajahnya yang bermanik keringat.

Lalu berangsur Nania menyadari, mereka, orang-orang yang ditemuinya di jalan, juga tetangga-tetangga, sahabat, dan teman-teman Nania tak puas hanya memberi pandangan iba, namun juga mengomentari, mengoceh, semua berbisik-bisik.

"Baik banget suaminya!"

"Lelaki lain mungkin sudah cari perempuan kedua!"

"Nania beruntung!"

"Ya, memiliki seseorang yang menerima dia apa adanya."

"Tidak, tidak cuma menerima apa adanya, kalian lihat bagaimana suaminya memandang penuh cinta. Sedikit pun tak pernah bermuka masam!"

Bisik-bisik serupa juga lahir dari kakaknya yang tiga orang, Papa dan Mama.

Bisik-bisik yang serupa dengungan dan sempat membuat Nania makin frustrasi, merasa tak berani, merasa?

Tapi dia salah. Sangat salah. Nania menyadari itu kemudian. Orang-orang di luar mereka memang tetap berbisik-bisik, barangkali selamanya akan selalu begitu. Hanya saja, bukankah bisik-bisik itu kini berbeda bunyi?

Dari teras Nania menyaksikan anak-anaknya bermain basket dengan ayah mereka. Sesekali perempuan itu ikut tergelak melihat kocak permainan.

Ya. Duapuluh dua tahun pernikahan. Nania menghitung-hitung semua, anak-anak yang beranjak dewasa, rumah besar yang mereka tempati, kehidupan yang lebih dari yang bisa dia syukuri. Meski tubuhnya tak berfungsi sempurna. Meski kecantikannya tak lagi sama karena usia, meski karir telah direbut takdir dari tangannya.

Waktu telah membuktikan segalanya. Cinta luar biasa dari laki-laki biasa yang tak pernah berubah, untuk Nania.


Diketik ulang oleh Juli Prasetio Utomo, 28 Juni 2005, dengan pembenahan beberapa ejaan dan tanda baca.




Milis pengembangan-kepribadian

Jangan Benci Aku, Mama....!

Jangan Benci Aku, Mama....!
Marry Scheleery
Publikasi: 24/12/2004


*SEBUAH KISAH IRONIS DI IRLANDIA UTARA YANG TELAH DITERJEMAHKAN KE DALAM BAHASA INDONESIA SEBAGAI BAHAN RENUNGAN BAGI WANITA KHUSUSNYA BAGI WANITA KARIR YANG SERING MENINGGALKAN ANAK-ANAKNYA.


Oh, Tuhan, ijinkan aku menceritakan hal ini..., sebelum ajal menjemputku...

20 tahun yang lalu saya melahirkan seorang anak laki-laki, wajahnya lumayan tampan namun terlihat agak bodoh... Sam, suamiku, memberinya nama Eric. Semakin lama semakin nampak jelas bahwa anak ini memang agak terbelakang. Saya berniat memberikannya kepada orang lain saja untuk dijadikan budak atau pelayan. Namun Sam mencegah niat buruk itu. Akhirnya terpaksa saya membesarkannya juga. Ditahun kedua setelah Eric dilahirkan sayapun melahirkan kembali seorang anak perempuan yang cantik mungil. Saya menamainya Angelica. Saya sangat menyayangi Angelica, demikian juga Sam. Seringkali kami mengajaknya pergi ke taman hiburan dan membelikannya pakaian anak-anak yang indah-indah...

Namun tidak demikian halnya dengan Eric. Ia hanya memiliki beberapa stel pakaian butut. Sam berniat membelikannya, namun saya selalu melarangnya dengan dalih penghematan uang keluarga. Sam selalu menuruti perkataan saya. Saat usia Angelica 2 tahun Sam meninggal dunia. Eric sudah berumur 4 tahun kala itu. Keluarga kami menjadi semakin miskin dengan hutang yang semakin menumpuk.

Akhirnya saya mengambil tindakan yang akan membuat saya menyesal seumur hidup. Saya pergi meninggalkan kampung kelahiran saya beserta Angelica, Eric yang sedang tertidur lelap saya tinggalkan begitu saja. Kemudian saya tinggal di sebuah gubuk setelah rumah kami laku terjual untuk membayar hutang. Setahun..., 2 tahun..., 5 tahun..., 10 tahun... telah berlalu sejak kejadian itu. Saya telah menikah kembali dengan Brad, seorang pria dewasa. Usia Pernikahan kami telah menginjak tahun kelima. Berkat Brad, sifat-sifat buruk saya yang semula pemarah, egois, dan tinggi hati, berubah sedikit demi sedikit menjadi lebih sabar dan penyayang. Angelica telah berumur 12 tahun dan kami menyekolahkan dia di asrama putri sekolah perawatan. Tidak ada lagi yang ingat tentang Eric dan tidak ada lagi yang mengingatnya.

Sampai suatu malam... Malam dimana saya bermimpi tentang seorang anak... Wajahnya agak tampan namun tampak pucat sekali... Ia melihat ke arah saya. Sambil tersenyum ia berkata, "Tante, Tante kenal mama saya? Saya lindu cekali pada mommy!" Setelah berkata demikian ia mulai beranjak pergi, namun saya menahannya, "Tunggu..., sepertinya saya mengenalmu. Siapa namamu anak manis?" "Nama saya Elic, Tante." "Eric...? Eric... Ya Tuhan! Kau benar-benar Eric???" Saya langsung tersentak dan bangun. Rasa bersalah, sesal dan berbagai perasaan aneh lainnya menerpa diri saya saat itu juga.

Tiba-tiba terlintas kembali kisah ironis yang terjadi dulu seperti sebuah film yang diputar dikepala saya. Baru sekarang saya menyadari betapa jahatnya perbuatan saya dulu. Rasanya seperti mau mati saja saat itu. Ya, saya harus mati..., mati..., mati... Ketika tinggal se-inchi jarak pisau yang akan saya goreskan ke pergelangan tangan, tiba-tiba bayangan Eric melintas kembali di pikiran saya. Ya Eric, mommy akan menjemputmu Eric...

Sore itu saya memarkir mobil Civic biru saya disamping sebuah gubuk, dan Brad dengan pandangan heran menatap saya dari samping. "Mary, apa yang sebenarnya terjadi?" "Oh, Brad, kau pasti akan membenciku setelah saya menceritakan hal yang telah saya lakukan dulu," tapi aku akan menceritakannya juga dengan terisak-isak... Ternyata Tuhan sungguh baik kepada saya. Ia telah memberikan suami yang begitu baik dan penuh pengertian. Setelah tangis saya reda, saya keluar dari mobil diikuti oleh Brad dari belakang.

Mata saya menatap lekat pada gubuk yang terbentang dua meter dari hadapan saya. Saya mulai teringat betapa gubuk itu pernah saya tinggali beberapa bulan lamanya dan Eric... Eric... Saya meninggalkan Eric di sana 10 tahun yang lalu. Dengan perasaan sedih saya berlari menghampiri gubuk tersebut dan membuka pintu yang terbuat dari bambu itu... Gelap sekali... Tidak terlihat sesuatu apapun juga! Perlahan mata saya mulai terbiasa dengan kegelapan dalam ruangan kecil itu. Namun saya tidak menemukan siapapun juga di dalamnya. Hanya ada sepotong kain butut tergeletak di lantai tanah. Saya mengambil seraya mengamatinya dengan seksama... Mata mulai berkaca-kaca, saya mengenali potongan kain tersebut sebagai bekas baju butut yang dulu dikenakan Eric sehari-harinya...

Beberapa saat kemudian, dengan perasaan yang sulit dilukiskan, sayapun keluar dari ruangan itu... Air mata saya mengalir dengan deras. Saat itu saya hanya diam saja. Sesaat kemudian saya dan Brad mulai menaiki mobil untuk meninggalkan tempat tersebut. Namun, saya melihat seseorang di belakang mobil kami. Saya sempat kaget sebab suasana saat itu gelap sekali. Kemudian terlihatlah wajah orang itu yang demikian kotor. Ternyata ia seorang wanita tua. Kembali saya tersentak kaget manakala ia tiba-tiba menegur saya dengan suaranya yang parau, "Heii...! Siapa kamu?! Mau apa kau kemari?!" Dengan memberanikan diri, sayapun bertanya, "Ibu, apa ibu kenal dengan seorang anak bernama Eric yang dulu tinggal di sini?"

Ia menjawab, "Kalau kamu ibunya, kamu sungguh perempuan terkutuk!! Tahukah kamu, 10 tahun yang lalu sejak kamu meninggalkannya di sini, Eric terus menunggu ibunya dan memanggil, 'Mommy..., mommy!' Karena tidak tega, saya terkadang memberinya makan dan mengajaknya tinggal bersama saya. Walaupun saya orang miskin dan hanya bekerja sebagai pemulung sampah, namun saya tidak akan meninggalkan anak saya seperti itu! Tiga bulan yang lalu Eric meninggalkan secarik kertas ini. Ia belajar menulis setiap hari selama bertahun-tahun hanya untuk menulis ini untukmu..." Sayapun membaca tulisan di kertas itu... "Mommy, mengapa Mommy tidak pernah kembali lagi...? Mommy marah sama Eric, ya? Mom, biarlah Eric yang pergi saja, tapi Mommy harus berjanji kalau Mommy tidak akan marah lagi sama Eric. Bye, Mom..."

Saya menjerit histeris membaca surat itu. "Bu, tolong katakan...Katakan di mana ia sekarang? Saya berjanji akan meyayanginya sekarang! Saya tidak akan meninggalkannya lagi, Bu! Tolong katakan...!!!" Brad memeluk tubuh saya yang bergetar keras.

"Nyonya, semua sudah terlambat (dengan nada lembut). Sehari sebelum nyonya datang, Eric telah meninggal dunia. Ia meninggal di belakang gubuk ini. Tubuhnya sangat kurus, ia sangat lemah. Hanya demi menunggumu ia rela bertahan di belakang gubuk ini tanpa ia berani masuk ke dalamnya. Ia takut apabila Mommy-nya datang, Mommy-nya akan pergi lagi bila melihatnya ada di dalam sana... Ia hanya berharap dapat melihat Mommy-nya dari belakang gubuk ini... Meskipun hujan deras, dengan kondisinya yang lemah ia terus bersikeras menunggu Nyonya di sana. Nyonya, dosa anda tidak terampuni!"

Saya kemudian pingsan dan tidak ingat apa-apa lagi.

Tuesday, September 8, 2009

17 Years Old

Happy BirthDay to me . .
Happy BirthDay to me . .
Happy BirthDay Happy BirthDay Happy BirthDay to me . .

Thanks 4 U'r attention . .
All of that U've done for me till now . .
It really means for me . .

This day is really amazing cause of you all . .

Friday, September 4, 2009

Broken Home - Keluarga Pecah


Ibu Bapak di Gresik .
Mas Aga di Surabaya .
Mbak Prima di Bekasi .
Aku di Jateng .

Thursday, June 4, 2009

UKK!

UKK alias Ujian Kenaikan Kelas mmbuatku sengsara, laper, ngantuk . . . dan lain lain yang terus mmbuatku menggila ...

Tuhann...

Aku laper (dan ngantuk)saat menjalani Ujian B.inggris : soalnya Alhamdulillah Gampang . . . Tapi gak tauk, banyak yang bener ato banyak yang salah...
Aku deg-deg'an (yaiyalahh deg-deg'an . . kalo g deg-deg'an mati dunk..) waktu math... waktunya mnurutku kurang... huhuhuhuhuhuhu. : bakar yang buwat soal.!
biologi sampat mmbuat aku binun dengan nama2 ilmiah mereka . . .
bahasa Indo n Agama sempat mmbuatku terluka . .(ceilee) . . . gurunya ngawasi truzzz . ..(guru yang baik).
PKn membuatku hancurrr . . . .Bapakkk... Soalnya kok sulit2 . . . Apa kata duia?? ; hancurkan yang buat soal...

Besok ekonomi dan b.jawa...
Hhuhuhuhuhuhuhuhu

Dan jalan masih panjangg.

Wednesday, May 20, 2009

Whoaammmmt . . . . .

Ngantuk sumpah . . .!!!


Aduhhh . . . diriku kok menggila seperti ini . .
Urip NOMADEN . . tak hebat,,, nggilani jaya . . duhh . . .

AQku capai....

Wednesday, April 22, 2009

Hi . .

Hi . . mo posting apa yap . . ??
Kok binun ndiri . . .?

Oh ya . . . Kmaren aku k Uranus lho . . bli motor n permen 2, ya gak lahh . . Uranus kan toko buku . . . .
Bli buku 2, karya Eva Ibbotson n Stephen King . . .(Maaf bila ada kesalahan nama penulisan, gelar dll) . . .

Thursday, April 16, 2009

Kisah Sang Tikus

Seekor tikus mengintip disebalik celah di tembok untuk mengamati sang petani dan isterinya membuka sebuah bungkusan. Ada makanan fikirnya? Dia terkejut sekali, ternyata bungkusan itu berisi perangkap tikus.

Lari kembali ke ladang pertanian itu, tikus itu menjerit memberi peringatan; "Awas, ada perangkap tikus di dalam rumah, hati-hati, ada perangkap tikus di dalam rumah!"

Sang ayam dengan tenang berkokok dan sambil tetap menggaruk tanah, mengangkat kepalanya dan berkata, "Ya maafkan aku, Pak Tikus, aku tahu ini memang masalah besar bagi kamu, tapi buat aku secara pribadi tak ada masalahnya. Jadi jangan buat aku peninglah."

Tikus berbalik dan pergi menuju sang kambing, katanya, "Ada perangkap tikus didalam rumah, sebuah perangkap tikus dirumah!" "Wah, aku menyesal dengar khabar ini," si kambing menghibur dengan penuh simpati, "tetapi tak ada sesuatupun yang bisa kulakukan kecuali berdoa. Yakinlah, kamu sentiasa ada dalam doa doaku!"

Tikus kemudian berbelok menuju si lembu. " Oh? sebuah perangkap tikus, jadi saya dalam bahaya besar ya?" kata lembu itu sambil ketawa.

Jadi tikus itu kembalilah kerumah, kepala tertunduk dan merasa begitu patah hati, kesal dan sedih, terpaksa menghadapi perangkap tikus itu sendirian.

Malam itu juga terdengar suara bergema diseluruh rumah, seperti bunyi perangkap tikus yang berjaya menangkap mangsanya. Isteri petani berlari pergi melihat apa yang terperangkap. Didalam kegelapan itu dia tak bisa melihat bahawa yang terjebak itu adalah seekor ular berbisa. Ular itu sempat mematuk tangan isteri petani itu. Petani itu bergegas membawanya ke rumah sakit.

Dia kembali ke rumah dengan demam. Sudah menjadi kebiasaan setiap orang akan memberikan orang yg sakit demam panas minum sup ayam segar, jadi petani itu pun mengambil goloknya dan pergilah dia ke belakang mencari bahan bahan untuk supnya itu.

Penyakit isterinya berlanjutan sehingga teman-teman dan tetangganya datang menjenguk, dari jam ke jam selalu ada saja para tamu. Petani itupun menyembelih kambingnya untuk memberi makan para tamu itu.

Isteri petani itu tak kunjung sembuh. Dia mati, jadi makin banyak lagi orang orang yang datang untuk pemakamannya sehingga petani itu terpaksalah menyembelih lembunya agar dapat para pelayat itu.

Moral kisah ini:
---------------

Apabila kamu dengar ada seseorang yang menghadapi masalah dan kamu fikir itu tiada kaitan dengan anda, ingatlah bahwa apabila ada 'perangkap tikus' didalam rumah, seluruh 'ladang pertanian' ikut menanggung risikonya .

Sikap mementingkan diri sendiri lebih banyak keburukan dari baiknya. (Soulful - Anton Prayitno)


myquran.com

Sunday, April 12, 2009

Seorang Lelaki dan Iblis Yang Menangis

Seorang Lelaki dan Iblis Yang Menangis
Publikasi : 21-06-2005

Aku meneguk tehku sampai habis, kemudian meletakkan cangkirnya di meja kecil samping tempat tidurku. Kuletakkan buku yang kubaca. Membuang rasa penat, aku bangkit, berdiri sambil meletakkan tangan di pinggang, lalu membuat gerakan memutar pinggulku ke kiri-kanan. Gemeretak bunyi tulang punggungku terdengar begitu nikmat.

Entah mana yang lebih nikmat, bunyinya ataukah rasanya? Aku tidak mau berpikir lebih lanjut. Ada kenikmatan lain yang ditawarkan alam padaku. Di luar, sinar bulan yang baru mulai muncul menyeruak masuk dari pintu beranda kamarku. Menyeret sendal kamar di kakiku, aku membuka pintu beranda.

Maksud hati ingin lebih menikmati indahnya panorama itu, tapi pemandangan lain kontan menyedot perhatian di balik pintu yang terbuka.

Seorang, seekor - atau sesosok - Iblis duduk di beranda. Kukenali dari dua tanduk di kepala, tubuh telanjang tanpa alat kelamin dan ekor dengan bentuk mata panah diujungnya. Sinar lampu di belakangnya membuat posisinya membentuk seperti siluet the thinker, karya Auguste Rodin. Sesaat, berandaku terasa seperti galery museum Decorative Arts di Paris. Mendadak rasa takut menyelimuti tubuhku. Kuamati lekat mencari tanda-tanda, apakah ini patung? Atau iblis yang sebenarnya?

Hah..! Ia mendesah panjang!

Dalam keterkejutanku, kucopot sendal kamarku dan kulempar sekuat tenaga ke arahnya. Sendal itu terlalu ringan, dan aku melempar tanpa bidikan yang jitu. Bukan menampar wajahnya, sendal itu malah menyangkut di salah satu tanduknya. Dan itu rupanya tidak cukup mengganggu, apalagi mengusirnya. Bahkan ia tidak bereaksi sedikit pun.

Ku tunggu beberapa detik, yang terasa seperti bermenit-menit. Ia tetap tidak bereaksi. Lalu kuputuskan mencoba mengusir dengan teriakan agak keras, "Hush.. Pergi Sana!"

Tapi ia masih disitu. Duduk di ujung kursi berandaku. Aku sejenak ragu. Takut, tapi harus berani. Bagaimana pun aku orang beragama bukan? Orang beragama tidak boleh takut pada Iblis. Tapi harus takut pada Tuhan. Pada Allah sang pencipta.

Jadi kudekati dia lebih dekat, dan kuulangi teriakan pertama dengan sisa sebelah sandal kamar teracung di tangan kananku.

Ia menoleh sedikit, dengan sendal kamar masih menyangkut di tanduknya, membuatku bersiap atas kemungkinan berhadapan dengan kemarahan sang Iblis. Tapi yang kulihat membuatku terkejut. Lho? Ia menangis!

Mataku tertumbuk pada matanya yang berair. Bulir air mata tampak satu-satu turun dari sudut matanya.

Ia menoleh dengan sudut lebih besar, sehingga wajahnya kini terlihat lebih jelas. Tak terlalu buruk untuk ukuran Iblis - walau tentu saja aku tidak pernah tahu gambaran wajah Iblis sebenarnya. Tapi paling tidak wajahnya tidak seperti wajah-wajah jin atau iblis dalam film holywood. Mungkin agak mirip tokoh Sith Lord di Phantom Menace-nya George Lucas, botak, bertanduk, hidung mancung dan mata yang besar, tapi cukup bersih dan cakap.

"Pergi.. Jangan ganggu!", kali ini seruanku lebih perlahan tapi tetap tegas.

Sesaat ia mengamatiku, kemudian menjawab. Suaranya terdengar agak parau dan kasar.

"Mengapa?", tanyanya, "Kau begitu takut padaku?"

Tentu saja aku takut padanya. Siapa manusia yang tidak takut Iblis? Tapi seperti yang kukatakan, orang beragama diajarkan hanya takut pada Allah, pada Tuhan yang kita sembah. Dan aku orang beragama, jadi aku berbohong padanya, "Aku tidak takut sedikit pun padamu!"

Ia mendesah, terdengar seperti desahan kakek-kakek tua.

"Walaupun aku adalah raja dari kaum-ku? Pemimpin besar dari segala Iblis?"

"Walaupun kamu raja dari segala raja biang setan di seluruh dunia dan akhirat", jawabku. Entah siapa yang aku coba yakinkan, dirinya atau diriku sendiri.

"Kau tidak berdusta?", tanyanya.

Aku agak ragu juga untuk menjawab. Berdusta itu dosa bukan? Iblis ini memang sialan. Hanya dalam beberapa detik bercakap dengannya, aku sudah melakukan satu dosa. Atau mungkin dua? Apakah melempar sandal ke kepala sang Iblis termasuk perbuatan dosa? Entahlah, mungkin nanti aku periksa dalam kitab suci - kalau-kalau ada ayat yang menyatakan tentang itu-. Yang jelas, kalau aku menjawab pertanyaannya kali ini, berarti aku sudah berbohong dua kali.

Jadi aku diam saja. Agak mengangguk sedikit. Semoga mengangguk kecil tidak termasuk berbohong.

"Lalu kenapa aku harus pergi?" tanyanya lagi. "Apakah dengan duduk disini sudah demikian mengganggumu? Atau kau demikian benci padaku?"

"Kau Iblis. Bahkan katamu kau raja dari segala Iblis. Tentu saja aku benci padamu. Apa yang kau harapkan? Aku mencintaimu? Edan!"

Iblis itu menunduk. Lalu mulai menangis seperti anak kecil. Tersedu-sedu, kepalanya mengangguk-angguk. Sendal di tanduknya jadi bergoyang-goyang. Pemandangannya agak lucu sebenarnya, tapi segera tertepis dengan kecurigaan yang muncul dalam benakku.

"Permainan apa yang ingin kau hadirkan padaku Iblis? Hentikan tangismu! Kau bisa membangunkan seisi rumahku!"

Setelah menarik napas panjang beberapa kali, isaknya menyurut. Ia menatapku dengan tatapan sedihnya. "Boleh aku minta teh?"

Aku tidak habis pikir, tentu saja. Untuk apa seorang -atau sesosok- iblis minta teh? Kecurigaanku bertambah. Pasti -kataku yakin dalam hati- ia sedang merencanakan sesuatu.

Apa pilihanku? Menolak? Bagaimana orang yang percaya pada Allah bersikap dalam kondisi begini? Apakah memberi teh pada Iblis adalah satu dosa?

Seandainya saja ada malaikat yang hadir di sini, mungkin aku bisa bertanya. Entah benar atau tidak, malaikat itu rasanya seperti polisi di negeri ini saja. Saat dibutuhkan, tak tahu kemana rimbanya. Ataukah mereka ada, dan aku saja yang tidak mengetahuinya?

Apakah setiap kali Iblis hadir dan menggoda manusia, otomatis malaikat akan hadir pula? Seperti visualisasi pertempuran bathin tokoh-tokoh kartun dalam film walt disney dimana ada gambaran sosok bersayap dan sosok bertanduk yang saling membujuk? Kalau ya, di mana mereka kini?

Aku memincingkan mata, mencoba mencari sosok-sosok putih bersayap. Di sudut-sudut beranda, di taman pekarangan, di balik selasar. Sekali kusenggol pintu perlahan dengan kakiku untuk mengecek -jangan-jangan ada malaikat di baliknya-. Tapi tidak ada tanda-tandanya.

Jadi aku masuk ke dalam, menghampiri poci teh di meja samping tempat tidurku. Kuusap bibir cangkir yang bekas kupakai dengan bajuku, lalu kutuang teh secukupnya, dan kubawa kembali ke beranda.

"Dengan satu syarat," kataku saat mengacungkan cangkir teh ke depan hidungnya. "Habiskan ini, dan tinggalkan berandaku!"

"Baiklah." katanya sambil mengambil cangkir yang kusodorkan. Sebaliknya ia menyodorkan sendal kamarku.

Aku mengenakannya sambil mengawasi ia menempelkan cangkir ke bibirnya, lalu menyeruput teh yang masih agak hangat itu. Perlahan, dan sedikit sekali. Saat selesai kulihat isi cangkir itu tidak terlihat berkurang.

Brengsek, makiku dalam hati. Sekali lagi aku tertipu. Dengan cara minumnya seperti itu, bisa lebih dari sepuluh kali tegukan ia baru menghabiskan secangkir teh setengah penuh. Berapa banyak lagi tipuan Iblis yang lahir dari kata-kata manusia sendiri?

"Terimakasih, hangatnya teh ini sangat melegakan hatiku yang sedang sedih." katanya sambil memegang cangkir itu dengan kedua tangannya, seperti mencari kehangatan di sana.

"Aku tidak akan termakan permainanmu Iblis." sahutku kasar. "Kebaikanku memberikan teh, jangan kau artikan kelemahan. Jadi sebaiknya kau tetap tutup mulut, cepat nikmati dan habiskan teh itu, serta segera berlalu dari sini. Ini bukan rumah yang menerimamu dengan tangan terbuka."

Ia mengangkat tangannya sedikit menahan kata-kataku. "Kau orang baik. Sepertinya kau juga orang taat. Tapi mengapa begitu kasar?"

"Kepada Iblis tidak ada larangan berkata kasar." sahutku.

"Begitukah?" tanyanya -hampir pada dirinya sendiri-. "Yang dilarang bukan perbuatannya tapi kepada siapanya?"

Brengsek. Aku sadar kemana arah pertanyaannya. Lebih brengsek lagi, gugatannya memang benar. Dalam banyak hal, perbuatan memang dilarang bukan atas perbuatannya, tapi pada siapanya. Membunuh pun jadi halal ketika diletakkan pada orang yang pantas untuk dibunuh. Perkara siapa yang kompeten menentukan pantas-tidaknya, itu adalah perkara lain.

Semestinya hanya pemberi kehidupan yang punya kompetensi untuk mencabut nyawa. Tapi bahkan Tuhan pun sepertinya menggunakan sistem perwakilan. Kalau tidak, bukan tangan malaikat yang mencabut nyawa manusia, tapi tangan Tuhan sendiri.

Jadi mungkin wajar pula kalau sebagian orang merasa jadi wakil Tuhan untuk mencabut nyawa orang lain. Alasan kafir sudah cukup untuk hilangnya selembar nyawa manusia. Walaupun sesungguhnya tidak jauh berbeda dengan sosok psikopat Jack The Ripper yang merasa jadi wakil tuhan dan membunuhi pelacur.

Ah, aku mengusir pikiran-pikiran yang muncul dalam benakku. Aku pasti sudah terjebak dalam permainan kata-kata si Iblis. Ia memang pandai. Sangat pandai. Bodohnya aku yang terus membiarkannya berkata-kata.

"Tahukah kau mengapa aku sedih?" tanyanya.

"Kau hendak mencobai aku, Iblis?" sergahku. "Jangan kau coba-coba. Aku tidak akan beranjak dari keyakinanku untuk mengikutimu."

"Aku hanya bertanya," sahutnya. "Mestinya kau berempati pada mahluk yang tengah kesusahan."

"Iblis kesusahan?" kataku sambil sedikit tertawa. "Tentu saja kau akan kesusahan sejak kau menantang Allah! Dan tidak ada empati untuk mahluk penentang Allah."

Aku sengaja mengatur nada suaraku agar terdengar sangat sinis.

"Empati. Memang kau siapa? Untuk korban kejahatan, korban bencana alam, kaum dhuafa, empati tentu saja wajib diberikan. Tapi untuk Iblis macam kau? Untuk manusia sampah masyarakat, penghancur tatanan sosial masyarakat seperti bandar-bandar narkoba atau koruptor saja tidak ada empati untuk mereka. Mereka bukan victim, bukan korban. Mereka adalah pelaku kejahatan. Apalagi kau sumber segala kejahatan manusia!"

"Bukankah manusia-manusia yang kau katakan itu adalah korban juga? Korban ketidakadilan sosial, korban penindasan politik, korban masyarakat? Bukankah melanggar hak asasi manusia kalau tidak ada sedikitpun empati untuk mereka?"

Di relung-relung benakku, terbersit pikiran kalau sang Iblis ini mulai terlihat belangnya. Lihat saja, ia tidak lagi menangis, dan mulai mencoba beretorika. Memang benar ajaran-ajaran kitab suci tentang watak sang Iblis. Bayangkan saja, ada Iblis berbicara soal Hak Asasi Manusia! Busuk benar kan?

Persis seperti negara adikuasa yang membom negara lain atas nama hak asasi manusia. Persis seperti para pembela agama yang membunuhi manusia lain. Walaupun untuk perihal korban, apa yang dikatakannya benar, tapi mana mungkin aku terima begitu saja? Persetan dengan hak asasi manusia! Toh konsep hak asasi semakin lama sudah semakin bias, seperti juga konsep-konsep demokrasi, kebebasan, hukum, semua alur dan letaknya sudah sangat campur aduk dalam tatanan hidup masyarakat modern sekarang ini.

Entah kapan tepatnya, di masa depan komunisme mungkin malah akan bersandingan dengan theis, dan bukan dengan atheis.

Tiba-tiba aku seperti tersadar. Tentu saja! Yang bertanggung jawab atas campur aduknya semua itu, tentu adalah sosok di hadapanku ini! Sang iblis! Jadi bukan manusia yang keblinger. Bukan manusia yang jahat. Tapi sang Iblis!

Bukan manusia yang korup, bukan manusia yang pemerkosa, bandar narkoba, maling... Pikiranku terhenti sendiri. Benarkah? Benarkah bukan manusia yang menjadi penjahat? Kalau begitu manusia juga hanya victim? Victim dari kejahatan si Iblis, penipuan si iblis, hasutan si iblis.

Iblis ini benar-benar hebat. Apa yang dilakukannya sesuai dengan reputasinya. Lamunanku terhenti ketika Iblis dihadapanku mulai berkata-kata lagi.

"Dan katamu aku menentang Allah? Itu tidak benar!" Wajahnya lebih menunjukkan raut bingung ketimbang marah.

"Aku cukup hapal cerita kitab suci tetang pemberontakanmu menantang Allah. Kalau kau menolak, dusta memang sudah menjadi sifatmu bukan?"

Ia tampak tidak memperdulikan cercaanku.

"Aku hanya menjalankan perintah Allah." katanya perlahan. "Allah memerintahkanku untuk mencobai manusia, untuk menggoda manusia, menguji sejauh mana ketaatannya pada Allah. Apakah itu berarti menentang Allah?"

Ia menoleh padaku dan melanjutkan kata-katanya, "Kalau Iblis menentang perintah Allah untuk menguji manusia, apakah ada Iblis yang menggoda manusia? Bukankah semua terjadi atas ijin-Nya? Mengapa manusia harus membenci aku? Bukankah ini hanya just business and nothing personal." katanya dengan raut tidak berdosa.

Sesaat aku ingin memakinya. Tapi ia melanjutkan lagi kata-katanya.

"Inilah yang aku sedihkan sebenarnya. Mengapa kalian manusia begitu membenci aku. Sedangkan aku hanya bekerja sesuai apa yang diberikan Allah padaku. Apakah kalian tidak tahu kalau aku tidak berkuasa apa-apa atas kekuasaan Allah?"

Aku kehabisan kata-kata. Benar-benar sulit melawan pemikiran dan kata-kata Iblis. Aku mencari-cari dalam benakku kata-kata dalam ayat suci untuk menjawab sang Iblis.

Tapi otakku seperti buntu. Mestinya aku tidak hanya membaca -tanpa memahami- huruf- huruf itu setiap malam. Apakah ada yang bisa kugunakan untuk melawan kata-katanya? Kusadari kepercayaan diriku mulai runtuh saat aku tidak kunjung menemukan jawaban yang ampuh.

Mungkin seharusnya ada rumusan untuk melawan iblis secara jelas. Untuk menjawab godaan A, bacalah ayat A, untuk jenis godaan B, bacalah ayat B. Pada siapa pula aku harus menuntut-nuntut hal seperti ini. Pada ulama? Pendeta? Guru ngaji? Penginjil? Literasi dalam kitab suci tidak diterjemahkan dalam rumusan ces-pleng model begini. Kita hanya disodorkan pada dongeng-dongeng, cerita-cerita, hikayat-hikayat dan harus menimba sendiri inti sarinya.

Berbondong-bondong manusia menjemput undangan sang Iblis karena kehabisan pemikiran untuk menyanggah pertanyaan yang dilontarkan sang Iblis.

Bagaimana cara melawan sosok Iblis dan pemikiran-pemikiran hebatnya? Dengan Iman? Hanya thok percaya pada kekuasaan Allah? Bagaimana teknis-praktisnya? Terpikir olehku satu jawaban : Menyebut nama Allah. Mungkin mestinya itu yang aku lakukan, tapi alih-alih aku malah melontarkan satu kalimat bentakan, "Hah..! Kau benar-benar raja Iblis. Kepandaianmu memutarbalikkan fakta memang menjadi ciri yang lekat dengan Keiblisanmu."

Ia terdiam. Kuharap bentakan itu cukup meneguhkan keimananku. Cukupkah? Menunding orang lain jahat memang lebih mudah dilakukan. Perkara apakah itu akan mendudukan kita jadi orang yang sama jahat, itu lain soal. Yang penting harus ada penegasan, aku tidak sama dengan kau. Kau penjahat, aku bukan penjahat. Kau maling, aku bukan maling. Kau penipu rakyat, aku bukan penipu rakyat. Pendek kata, kau Iblis, aku bukan iblis.

Pikiranku membangun puing-puing keyakinanku untuk menghadapi sang Iblis. Kita perlu kepercayaan diri yang tinggi untuk melawan ketidakbenaran bukan? Tidak salah kalau kepercayaan pertama yang harus dimiliki adalah mempercayai kita berada di pihak yang benar. Apa yang kita lakukan adalah benar-benar benar. Tanpa itu kita akan selalu berada dalam ambang ambigu. Perkara kebenaran itu versi kita pribadi, masa bodo lah. Toh yang kita lawan adalah sosok kejahatan, dajjal, sang Iblis.

Aku mulai tersenyum seiring tumbuhnya keyakinan baru. Kutatap wajahnya lekat-lekat, saat Iblis itu mendongak dan bertanya tiba-tiba.

"Apakah kau tidak membenci malaikat pencabut nyawa?"

Ini seperti sebuah pertanyaan tolol. Mudah sekali menjawabnya, pikirku.

"Kenapa harus membenci? Ia malaikat! Tentara Allah! Mahluk suci yang tidak mau berpaling dari Allah. Tidak sepertimu!"

"Bukankah ia yang mencabut nyawamu?"

"Ia menjalankan itu atas perintah Allah! Itu tugasnya, Bodoh!" Makianku akhirnya terlontar juga di atas ketidaksabaranku.

"Bukankah aku pun demikian? Aku hanya menjalankan tugas." sahutnya perlahan.

"Entah apa kepercayaanmu terhadap Allah, tapi semestinya kau tahu bahwa rencana Allah yang mendudukan manusia, iblis dan malaikat dalam hubungan seperti ini. Kita hanya menjalankan tugas kita masing-masing."

Aku terdiam. Percakapan ini pasti akan sangat panjang, dan penuh dengan pertengkaran kalau dilanjutkan. Menyebalkan. Walau keyakinanku -bahwa aku adalah sang benar yang tengah melawan sang iblis- tidak surut, tapi aku pikir perlu berpikir secara strategis untuk menghadapinya.

Tidak ada gunanya mengikuti perdebatan dengan Iblis. Bagaimana pun ia Iblis dan aku manusia. Apakah manusia berkuasa untuk mengalahkan Iblis? Mestinya, ya. Tapi kekuasaan itu entah derajatnya lebih rendah atau lebih tinggi dari kekuasaan sang Iblis untuk menggoda manusia. Aku tidak tahu, dan tidak mau berspekulasi.

Melawan kejahatan manusia saja kita perlu berstrategi, apalagi biang segala kejahatan ini. Aku pernah membaca di sebuah buku, gembong kejahatan Al Capone pernah berkata, Jika kamu tidak bisa menang dengan bertarung secara fair, main kotor itu wajib, atau usahakan pihak ketiga menjalankan pertarunganmu.

Saat ini tentu saja tidak ada pihak ketiga, karena hanya ada aku dan sang Iblis. Begitupula aku tidak akan bisa menang secara fair. Jadi pilihannya yang tersisa hanya main kotor. Jadi aku berkata perlahan saja.

"Okelah, kau sedih karena manusia membencimu. Lalu apa maumu?"

Ia tampak bingung sendiri. Kepala bertanduknya menggeleng-geleng perlahan.

"Aku... aku hanya ingin tidak dibenci. Itu saja."

"Bagaimana kalau kukatakan aku tidak membencimu. Apakah itu cukup bagimu?" sahutku dengan nada membujuk. Tiba-tiba sebuah ide muncul dalam benakku.

"Kalau manusia tidak membencimu apakah kau akan terus menggoda manusia, atau kau akan pensiun menjadi Iblis?"

Mungkinkah manusia menjadi jalan keselamatan untuk sang Iblis? Sungguh, prestasi besar kalau bisa begitu. Apakah ada bonus pahala khusus untuk manusia yang bisa menghentikan karya sang Iblis di dunia? Tiket langsung menuju surga rasanya pantas untuk ganjaran prestasi semacam ini. Menumpas kejahatan, terdengar heroik sekali kan? Walau dalam prakteknya menggunakan kejahatan lain, tapi gelar orang suci dan bonus tiket itu terlalu menarik untuk dilewatkan. Pantas saja begitu banyak seruan untuk menumpas pemimpin negara yang dinilai kafir.

Tiba-tiba ia berkata, "Kalau aku menjadi pengikut Allah yang setia, apakah manusia tidak akan membenci aku?"

Aku terkesiap sejenak. Ini pertanyaan sulit. Siapa manusia yang mau percaya bertobatnya sang Iblis? Kepercayaan itu barang mahal dalam dunia.

"Aku tidak tahu." jawabku. "Hati manusia tidak bisa terbaca semudah membaca tulisan dalam buku. Panjang-pendeknya akal manusia juga tidak terukur dalam dimensi yang mudah diukur. Lagipula mengapa kau begitu terganggu soal benci-membenci ini?"

"Manusia memang begitu." katanya. Sedikit tersenyum ia melanjutkan. "Kadang Iblis lebih jujur dibandingkan manusia."

"Hah...!" sergahku pendek.

"Benar. Iblis tidak pernah menyangkal dirinya sebagai pembuat kejahatan. Tapi manusia tidak demikian bukan? Di hadapan sang Khalik- pun manusia masih bisa berdusta."

"Tidak di hari akhir. Di pengadilan akhirat nanti, tidak akan ada yang mampu berdusta ketika dihadapkan pada sang Khalik." kataku yakin.

"Tapi ya, di dunia bukan?" sang Iblis menatapku dengan matanya yang kini tidak berair lagi. "Tuhan, Allah, tidak hanya menunggu di perhentian terakhir. Dia menyertai manusia sepanjang hidupnya. Apakah kau tidak merasakannya?"

Apakah aku merasakannya? Aku tidak tahu pasti. Kadang ada saat-saat Allah terasa begitu dekat. Tapi seringkali aku juga merasa tidak ada siapapun di dunia ini. Seperti kalimat dalam film alien-futuristik : we are all alone.

"Allah tidak membutuhkan manusia untuk merasakannya. Ia pasti hadir." Aku terkejut sendiri dengan kata-kata yang terlontar tiba-tiba dari bibirku. Bagaimana pun, itu jawaban diplomatis yang bagus bukan?

"Tapi manusia sering berdusta dalam doa, berdusta dalam karya, bicara, kata-kata dan perbuatan." kata Iblis.

"Atas bujukanmu tentu." sahutku pendek.

"Atas perintah Allah pula tentu." sahutnya tersenyum.

Brengsek, aku terjebak lagi. Kusadari upaya main kotorku untuk membujuk sang iblis telah gagal total. Tinggal satu cara menyelesaikan perdebatan tidak bermutu ini.

"Enough! Cukup. Jangan lagi tebarkan kebohongan-kebohongan di berandaku ini. Silahkan kau habiskan tehku, dan pergilah cepat. Dan satu lagi." kataku dengan nada keras. "Jangan coba-coba kembali kesini. Lain kali aku akan memakai sepatu boot." kataku mengancam.

Aneh tapi nyata, ancaman itu efektif. Sekali lagi aku teringat sebaris kata-kata dari buku tentang gembong mafia Al Capone, "Kata-kata kasar dan senjata akan mendatangkan lebih banyak hasil, dibandingkan kata-kata manis."

Iblis itu meneguk teh dalam cangkir dengan satu gerakan. Ia mengulurkan cangkir itu ke tanganku, tapi menahannya saat aku akan mengambilnya.

"Apakah kau masih membenci aku?"

Aku terdiam sesaat. Harus ada jawaban yang tuntas untuk sang Iblis. Jadi aku katakan saja, "Walaupun kita sama-sama mahluk Allah, tapi kita berbeda. Membencimu adalah dalam koridor tugasku sebagai manusia dan penyembah Allah. It is just business, nothing personal."

Ia terdiam. Lalu dalam sekejap ia hilang tak berbekas.

Jam besar di dalam kamarku berdentang. Aku membereskan cangkir bekas sang Iblis, dan kembali ke tempat tidurku. Tepat saat aku menarik buku yang kubaca kepangkuanku, pintu kamarku terbuka.

Suster Mary masuk sambil membawa nampan peraknya. "Waktunya minum obat, sir!" katanya sambil tersenyum dan menyodorkan sebutir prozac ke bibirku. (DBaonk)

* * * *


Glossary :

the thinker = patung terkenal karya Auguste Rodin yang terinspirasi karya besar Dante : Divine Comedy. Diletakkan di pintu masuk Museum Decoratie Arts di Paris, patung ini kabarnya menggambarkan sosok Dante sendiri sebagai seorang pemikir.

Sith = Tokoh antagonis rekaan dalam film George Lucas Star Wars. Tokoh ini pertama kali muncul dalam episode pertama Star Wars (yang justru diciptakan setelah trilogi episode IV, V & VI).

just business - nothing personal = ungkapan dalam bahasa Inggris yang menunjukkan tidak ada kepentingan pribadi melainkan hanya pekerjaan semata.

enough = cukup.

prozac = obat yang biasa digunakan untuk penderita schizofrenia (penderita gangguan jiwa).




www.KotaSantri.com


Diambil dari Bunga Rampai 11

Monday, April 6, 2009

Wednesday, February 25, 2009

Binun Aku . . .

Cilukk Ba . . . !

Binun (: bingung) ngurusi PIO (Pekan Ilmiah OSIS) . . .
Cilukk Ba . . . !

Binun ngurusi PIO (Pekan Ilmiah OSIS) . . .

Friday, January 16, 2009

Pesankan Saya, Tempat di Neraka!!

Sebuah kisah dimusim panas yang menyengat. Seorang kolumnis majalah Al Manar mengisahkannya...Musim panas merupakan ujian yang cukup berat. Terutama bagi muslimah, untuk tetap mempertahankan pakaian kesopanannnya. Gerah dan panas tak lantas menjadikannya menggadaikan akhlak. Berbeda dengan musim dingin, dengan menutup telinga dan leher kehangatan badan bisa dijaga. Jilbab bisa sebagai multi fungsi.

Dalam sebuah perjalanan yang cukup panjang, Cairo-Alexandria; di sebuah mikrobus. Ada seorang perempuan muda berpakaian kurang layak untuk dideskripsikan sebagai penutup aurat. Karena menantang kesopanan. Ia duduk diujung kursi dekat pintu keluar. Tentu saja dengan cara pakaian seperti itu mengundang 'perhatian' kalau bisa dibahasakan sebagai keprihatinan sosial.Seorang bapak setengah baya yang kebetulan duduk disampingnya mengingatkan. Bahwa pakaian seperti itu bisa mengakibatkan sesuatu yang tak baik bagi dirinya. Disamping pakaian seperti itu juga melanggar aturan agama dan norma kesopanan.

Tahukah Anda apa respon perempuan muda tersebut? Dengan ketersinggungan yang sangat ia mengekspresikan kemarahannya. Karena merasa privasinya terusik. Hak berpakaian menurutnya adalah hak prerogatif seseorang.

"Jika memang bapak mau, ini ponsel saya. Tolong pesankan saya, tempat di neraka Tuhan Anda!!". Sebuah respon yang sangat frontal. Dan sang bapak pun hanya beristighfar. Ia terus menggumamkan kalimat-kalimat Allah.

Detik-detik berikutnya suasanapun hening. Beberapa orang terlihat kelelahan dan terlelap dalam mimpinya. Tak terkecuali perempuan muda itu. Hingga sampailah perjalanan dipenghujung tujuan. Di terminal akhir mikrobus Alexandria. Kini semua penumpang bersiap-siap untuk turun. Tapi mereka terhalangi oleh perempuan muda tersebut yang masih terlihat tertidur. Ia berada didekat pintu keluar. "Bangunkan saja!" begitu kira-kira permintaan para penumpang.

Tahukah apa yang terjadi. Perempuan muda tersebut benar-benar tak bangun lagi. Ia menemui ajalnya. Dan seisi mikrobus tersebut terus beristighfar, menggumamkan kalimat Allah sebagaimana yang dilakukan bapak tua yang duduk disampingnya.

Sebuah akhir yang menakutkan. Mati dalam keadaan menantang Tuhan.
Seandainya tiap orang mengetahui akhir hidupnya....
Seandainya tiap orang menyadari hidupnya bisa berakhir setiap saat...
Seandainya tiap orang takut bertemu dengan Tuhannya dalam
keadaan yang buruk...

Seandainya tiap orang tahu bagaimana kemurkaan Allah...
Sungguh Allah masih menyayangi kita yang masih terus dibimbing-Nya.
Allah akan semakin mendekatkan orang-orang yang dekat denganNYA semakin dekat.

Dan mereka yang terlena seharusnya segera sadar...
mumpung kesempatan itu masih ada.


sumber : Cerita dari Mesir "Pesankan Saya, Tempat di Neraka!!"

Akhirnya Dia Mati Seperti Keledai

Kisah ini terjadi di Universitas 'Ain Syams, fakultas pertanian di Mesir. Sebuah kisah yang amat masyhur dan dieksposs oleh berbagai media massa setempat dan sudah menjadi buah bibir orang-orang di sana.

Pada tahun 50-an masehi, di sebuah halaman salah satu fakultas di negara Arab (Mesir-red.,), berdiri seorang mahasiswa sembari memegang jamnya dan membelalakkan mata ke arahnya, lalu berteriak lantang, "Jika memang Allah ada, maka silahkan Dia mencabut nyawa saya satu jam dari sekarang!."

Ini merupakan kejadian yang langka dan disaksikan oleh mayoritas mahasiswa dan dosen di kampus tersebut. Menit demi menitpun berjalan dengan cepat hingga tibalah menit keenampuluh alias satu jam dari ucapan sang mahasiswa tersebut. Mengetahui belum ada gejala apa-apa dari ucapannya, sang mahasiswa ini berkacak pinggang, penuh dengan kesombongan dan tantangan sembari berkata kepada rekan-rekannya, "Bagaimana pendapat kalian, bukankah jika memang Allah ada, sudah pasti Dia mencabut nyawa saya?."

Para mahasiswapun pulang ke rumah masing-masing. Diantara mereka ada yang tergoda bisikan syaithan sehingga beranggapan, "Sesunguhnya Allah hanya menundanya karena hikmah-Nya di balik itu." Akan tetapi ada pula diantara mereka yang menggeleng-gelengkan kepala dan mengejeknya.

Sementara si mahasiswa yang lancang tadi, pulang ke rumahnya dengan penuh keceriaan, berjalan dengan angkuh seakan dia telah membuktikan dengan dalil 'aqly yang belum pernah dilakukan oleh siapapun sebelumnya bahwa Allah benar tidak ada dan bahwa manusia diciptakan secara serampangan; tidak mengenal Rabb, tidak ada hari kebangkitan dan hari Hisab. Dia masuk rumah dan rupanya sang ibu sudah menyiapkan makan siang untuknya sedangkan sang ayah sudah menunggu sembari duduk di hadapan hidangan. Karenanya, sang anak ini bergegas sebentar ke 'Wastapel' di dapur. Dia berdiri di situ sembari mencuci muka dan tangannya, kemudian mengelapnya dengan tissue. Tatkala sedang dalam kondisi demikian, tiba-tiba dia terjatuh dan tersungkur di situ, lalu tidak bergerak-gerak lagi untuk selama-lamanya.

Yah…dia benar-benar sudah tidak bernyawa lagi. Ternyata, dari hasil pemeriksaan dokter diketahui bahwa sebab kematiannya hanyalah karena ada air yang masuk ke telinganya!!.

Mengenai hal ini, Dr.'Abdur Razzaq Nawfal -rahimahullah- berkata, "Allah hanya menghendaki dia mati seperti keledai!."

Sebagaimana diketahui berdasarkan penelitian ilmiah bahwa bila air masuk ke telinga keledai atau kuda, maka seketika ia akan mati?!!!.

(Sumber: Majalah "al-Majallah", volume bulan Shafar 1423 H sebagai yang dinukil oleh Ibrahim bin 'Abdullah al-Hâzimiy dalam bukunya "Nihâyah azh-Zhâlimîn", Seri ke-9, h.73-74)


alsofwah.or.id

Thursday, January 8, 2009

GO BLOG!!


I SET MY FOOT UPON MY ENEMIES